Eksistensi Perpustakaan Perguruan Tinggi dalam Perspektif Sejarah Peradaban Islam

12 April 2022

Perguruan Tinggi merupakan wadah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemimpin masa depan suatu bangsa dibentuk melalui perguruan tinggi. Perguruan Tinggi tidak hanya sekedar mengajarkan ilmu eksak dan non eksakta kepada anak bangsa akan tetapi juga turut serta dalam membentuk karakter. Pembinaan karakter yang dilaksanakan di Perguruan Tinggi harus sesuai dengan ideologi berbangsa dan bernegara. Anak bangsa perlu ditanamkan semangat patriotik dan memahami Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 sebagai pandangan hidup Bangsa Indonesia.

Berdirinya Perpustakaan Perguruan Tinggi seiring dengan berdirinya lembaga induk yang menaunginya. Perpustakaan Perguruan Tinggi yang tertua dalam peradaban Islam adalah Perpustakaan Universitas Qarawiyyin, Perpustakaan Universitas Sankore dan Perpustakaan Universitas Al-Azhar. Berikut ini dijelaskan tentang eksistensi Perpustakaan tersebut dalam Peradaban Islam :

Pertama, Perpustakaan Universitas Qarawiyyin. Dilansir dari Wikipedia Online, Al-Qarawiyyin adalah bagian dari masjid, didirikan pada tahun 859 oleh Fatima al-Fihria, putri seorang pedagang kaya bernama Muhammad Al-Fihri. Keluarga Al-Fihri telah bermigrasi dari Kairouan, Tunisia ke Fez, Maroko pada awal abad ke-9, bergabung dengan komunitas pendatang lainnya dari Kairouan yang telah menetap di sebuah distrik barat kota. Fatima dan kakaknya Mariam, baik dari mereka berpendidikan, mewarisi sejumlah besar uang dari ayah mereka. Fatima berjanji untuk menghabiskan seluruh warisannya pada pembangunan masjid yang cocok untuk komunitasnya. Selain tempat untuk ibadah, masjid segera berkembang menjadi tempat untuk pelajaran agama dan diskusi politik, secara bertahap memperluas pendidikan untuk berbagai mata pelajaran, khususnya ilmu alam. Al-Qarawiyyin memperoleh perlindungan politik kuat dari Sultan. Banyak manuskrip yang disimpan di perpustakaan yang didirikan oleh Sultan Abu Inan Faris dari Dinasti Marinid pada tahun 1349. Di antara naskah yang paling berharga saat ini disimpan di perpustakaan adalah jilid dari yang terkenal Al-Muwatta dari Malik yang ditulis pada perkamen kijang, Sirat Ibn Ishaq, salinan Al Qur'an yang diberikan oleh Sultan Ahmad al-Mansur pada tahun 1602, dan salinan asli dari buku Ibnu Khaldun Al-'Ibar. Di antara mata pelajaran yang diajarkan, di samping Al Qur'an dan Fiqih (hukum Islam), adalah tata bahasa, retorika, logika, kedokteran, matematika, astronomi, kimia, sejarah, geografi dan musik. Al-Qarawiyyin dimainkan, pada abad pertengahan, peran utama dalam pertukaran budaya dan transfer pengetahuan antara Muslim dan Eropa. Pelopor akademisi seperti Ibnu Maimun (Maimonides), Al-Idrissi, Ibnu al-Arabi, Ibnu Khaldun, Ibnu al-Khatib, Al-Bitruji (Alpetragius), Ibnu Hirzihim, dan Al-Wazzan semua terhubung dengan Universitas baik sebagai mahasiswa atau dosen. Di antara cendekiawan Kristen mengunjungi Al-Qarawiyyin adalah tokoh Belgia Nicolas Cleynaerts dan tokoh Belanda Golius. Al-Qarawiyyin masih berfungsi sebagai masjid, perpustakaan, dan universitas, tetapi pelestarian Madinah oleh UNESCO bertujuan untuk mencegah perluasan fisik pada situs aslinya.

Kedua, Perpustakaan Universitas Sankore. Universitas Sankore didirikan pada 989 Masehi. Universitas ini  menyedot perhatian kalangan muda dari berbagai penjuru dunia untuk menimba ilmu di dalamnya. Pada abad ke-12, jumlah mahasiswanya mencapai 25 ribu orang. Padahal, jumlah penduduk Kota Timbuktu di masa itu hanya berjumlah 100 ribu jiwa. Universitas ini diakui  kualitasnya karena lulusannya mampu menghasilkan publikasi berupa buku dan kitab yang berkualitas. Buktinya, baru-baru ini di Timbuktu, Mali, ditemukan lebih dari satu juta risalah. Selain itu, di kawasan Afrika Barat juga ditemukan tak kurang dari 20 juta manuskrip. Informasi dari Understanding Slavery Initiative Online menjelaskan bahwa Masjid Universitas Sankoré dibangun sekitar tahun 1300 M dengan dana dari seorang wanita dari Aghlal, kelompok etnis Tuareg yang religius. Sankoré Quarter yang letaknya di timur laut Timbuktu menjadi tempat tinggal para ulama dan guru. Ditempat itu pula perpustakaan pertama dibangun. Cendekiawan dan raja memperoleh buku selama perjalanan mereka. Mereka juga dibeli buku dari pedagang yang datang dari utara. Sultan Mansa Musa sering kali membeli karya-karya hukum dalam Mazhab Maliki. Dia juga memerintahkan pembangunan Masjid Agung Timbuktu pada tahun 1326. Dilansir pada Regularizacao Fundiara Urbana Online, abad ke-14 hingga abad ke-16, Sankoré adalah pusat beasiswa Islam dalam matematika, sains dan filsafat, dan memiliki salah satu perpustakaan terbesar di dunia (dengan hingga 700.000 manuskrip). Universitas Sankoré mampu menampung 25.000 mahasiswa dan memiliki salah satu perpustakaan terbesar di dunia dengan sekitar 1.000.000 manuskrip.

Ketiga, Perpustakaan Universitas Al Azhar. Dilansir pada Republika Online, nama Perpustakaan Universitas Al Azhar adalah Dar al-‘Ilm (Negeri Berilmu). Penyelenggaraan Dar al-‘Ilm sesungguhnya telah berlangsung sejak era Khalifah al-Hakim dari Dinasti Fatimiyyah. Dia pula yang merintis kegiatan donasi, yang berupa ribuan buku dari rumah pribadinya untuk Dar al-‘Ilm. Perpustakaan tersebut dibuka untuk umum. Katalog bertahun 435 hijriah (1045 M) menunjukkan,  Dar al-’Ilm mengoleksi sebanyak 6.500 buku bertema astronomi, arsitektur, dan filsafat. Pada zaman pemerintahan Al-Muntasir (1036–1094), perkembangannya mulai begitu pesat. Ketika Dinasti Fatimiyyah runtuh, penggantinya hendak menjual semua warisan penguasa terdahulu itu, termasuk buku-buku di Dar al-‘Ilm. Al-Fadhil al-Basyani berhasil menyelamatkan banyak koleksi dari perpustakaan tersebut. Kadi Dinasti Ayyubiyah itu harus membeli kembali buku yang sempat terjual di pasaran. Semua upaya itu dilakukannya lantaran rasa cinta terhadap dunia literasi. Selain itu, al-Basyani juga berjasa menyumbang sekitar 100 ribu buku ke pelbagai madrasah Al-Fadhiliyah yang didirikannya. Pencinta buku lainnya di Kairo adalah Abdus Salam al-Qazwni. Koleksi pribadinya mencapai 40 ribu buku, yang di antaranya merupakan hasil pembeliannya dari istana Dinasti Fatimiyyah. Bahkan, sumber Abu Shama menyebut jumlah koleksinya mencapai dua juta buku.

Eksistensi Perpustakaan Perguruan Tinggi memainkan peran penting dalam peradaban Islam khususnya dalam pembentukan intelektual muslim. Jika dikilas balik kebelakang, inspirasi terbentuknya Perpustakaan Perguruan Tinggi sejatinya berasal dari Bayt El Hikmah yang dikenal dengan nama Rumah Kebajikan. Bayt El Hikmah mulanya adalah Perpustakaan Pribadi milik Khalifah Harun Ar Rasyid (766-809. Dimasa pemerintahan Al Ma’mun (813-833), koleksi Perpustakaan ini dilayankan kepada khalayak khususnya para ilmuan dari berbagai disiplin ilmu, etnik dan agama yang berdomisili di Baghdad yang kala itu sebagai “episentrum” ilmu dan pengetahuan. Bayt Al Hikmah lebih tepat dikatakan sebagai Perpustakaan Perguruan Tinggi terbesar yang menaungi para akademisi dari berbagai Universitas yang berada dalam wilayah kekuasaan Bani Abbasiyyah. Kekuasan Bani Abbasiyyah terbentang dari Afrika Utara sampai Punjab di Tanah Hindustan. Perpustakaan adalah ruang melahirkan ide-ide, tempat di mana sejarah menjadi hidup. Demikian kata Norman Cousin, wartawan kondang Amerika Serikat.

Read 6459 times Last modified on Selasa, 12 April 2022 15:17