Penerapan Marketing Informasi 5.0 di UPT.Perpustakaan Unand

28 Februari 2022

Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa Perpustakaan Perguruan Tinggi memiliki peran sebagai media penyebaran informasi yang dibutuhkan oleh pemustaka. Informasi yang dimiliki Perpustakaan Perguruan Tinggi dalam bentuk koleksi tercetak dan terdigitasi merupakan aset yang memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Koleksi manuskrip kuno dan langka yang biasa menjadi rebutan kolektor barang antik akan lebih bernilai komersial yang tinggi apabila isi manuskrip tersebut diketahui makna dan narasinya. Wendy Diamond dan Michael Oppenheim (2004) mengatakan bahwa informasi menjadi kunci sukses suatu bisnis, dan para manajer mau membayar ketika membutuhkannya. Dengam kondisi ini semua  dikomersialisasikan, mulai barang, jasa hingga informasi. Pergeseran paradigma ini merupakan efek dari globalisasi politik ekonomi dunia.

Sejarah marketing informasi di Perpustakaan Perguruan Tinggi memiliki sejarah yang sangat panjang. Bermula sejak ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg lahir antara tahun 1394-1404 di Kota Mainz, Jerman. Namun, pada 1890 Kota Mainz menyatakan bahwa tanggal lahir simbolisnya adalah 24 Juni 1400. Lahir dengan nama lengkap Johannes Gensfleisch zur Laden zum Gutenberg, ia adalah putra dari seorang pedagang yang dulunya pernah menjadi bangsawan Jerman.

Universitas Mainz yang juga dikenal dengan nama Johannes Gutenberg University Mainz yang dibangun tahun 1477 dapat dikatakan Universitas pertama yang menggunakan mesin cetak yang dibuat Johannes Gutenberg. Selanjutnya mesin cetak ini menyebar penggunaannya ke seluruh Universitas yang berada Benua Eropa. Johannes Guttenberg tetap dikenal dunia sebagai father of printing revolution. Bisa dikatakan kalau mesin cetak buatan Guttenberg jadi cikal bakal kemunculan mesin-mesin cetak lain yang saat ini digunakan oleh orang-orang dunia.

Berdasarkan pengalaman penulis melakukan PKL (Praktek Kerja Lapangan) di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) pada tahun 1997, praktek marketing informasi telah dilaksanakan oleh Perpustakaan. Mahasiswa Fakultas Kedokteran USU yang mengambil Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dan para dosen Fakultas Kedokteran USU sering berlalu lalang dibagian Layanan Informasi. Mereka sebelumnya memesan informasi terseleksi tersebut dari ruang kerjanya. Informasi yang dipesan biasanya adalah jurnal elektronik tentang kedokteran yang masa itu sangat susah diperoleh kecuali melalui akses internet yang masih relatif mahal. Sebelum memesan jurnal elektronik, para dokter terlebih dahulu melihat Index Medicus. Index Medicus adalah suatu alat penelusuran yang berbentuk buku indeks makalah yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Kedoktaran (National Library of Medicine-NLM). Melakukan penelusuran dengan menggunakan Index Medicus bagian indeks penulisannya tidaklah terlalu sukar. Para dokter yang telah mendapat informasi yang dipesan berupa jurnal elektronik yang telah di print out  membayar biaya jasa informasi sebesar Rp.10.000,- tergantung jumlah judul atau subyek yang dipesan.

Berdasarkan garis waktu, orientasi marketing informasi selalu berubah dari masa ke masa. Salah satunya adalah segmentasi pasar yang makin bervariasi seiring dengan penggunaan teknologi informasi yang makin berkembang pesat. Berikut ini adalah timeline marketing informasi :

Pertama, Marketing informasi 1.0. Marketing informasi 1.0 lebih menekankan pada product- driven. Secara leksikal product-driven bermakna berorientasi produk. Perpustakaan dekade 1900 sebelum terjadinya malaise atau kelesuan ekonomi di Amerika Serikat yang terjadi pada 1929 sampai dengan 1939. Perpustakaan cenderung menekankan pengadaan koleksi tercetak sebanyak-banyaknya. Ini juga mengakibatnya tingginya pemesanan meubelair seperti rak, meja dan kursi. Kajian tentang siapa pengguna informasi dan informasi apa yang layak bagi pengguna belum menjadi isu yang menarik dalam ranah kajian ilmu perpustakaan secara umum. Pengguna dibiarkan memilih informasi tanpa adanya arahan. Kegiatan bedah buku untuk mempromosikan informasi yang terdapat dalam buku best seller masih belum banyak dilakukan oleh Pustakawan. 

Kedua, Marketing informasi 2.0. Marketing informasi 2.0 berorientasi pada kebutuhan pengguna (costumer-oriented). Lanskap dunia yang berubah karena Depresi Besar atau kelesuan ekonomi dunia yang terjadi awal tahun 1930 an memunculkan segmentasi di era marketing informasi 2.0. Segmentasi pasar mulai bervariatif dengan ragam kebutuhan individu masa itu. Garis watu untuk mengilustrasikan era ini adalah tahun 1929 sampai 1950an. Penggunaan microfische atau mikrofilm sebagai sarana penyimpanan informasi mulai berkembang dan hanya orang-orang tertentu yang dapat mengakses informasinya dengan izin Pustakawan. Koleksi buku tercetak masih sangat mendominasi.  Masa itu Perpustakaan lebih fokus kepada kebutuhan informasi pengguna. Penyebaran informasi yang tersedia di Perpustakaan mulai menggunakan media massa. Perpustakaan mulai melakukan kajian informasi tentang segmentasi pasarnya dan informasi apa yang dibutuhkan oleh pengguna perpustakaan.

Ketiga, Marketing informasi 3.0. Marketing informasi 3.0 menekankan pada hidden needs dari costumer dan berbasis human centric. Contoh yang tepat untu melukiskan era ini adalah Perpustakaan dekade 50an sampai tahun 2008. Perpustakaan dituntut melakukan kajian yang lebih mendalam tentang apa kebutuhan pengguna yang tersembunyi. Promosi Perpustakaan mulai gencar memasuki media pandang dengar. TV 5 yaitu Televisi Prancis setiap jam 21.30 WIB atau jam 15.30 Waktu Prancis disiarkan acara Bouillon de Culture atau ramuan kaldu budaya dalam terjemahan leksikal merupakan acara talkshow mingguan yang bertemakan budaya dan sastra yang dipandu Bernard Pivot. Yang menarik dari acara ini adalah sang pemandu acara memegang buku yang dibahas dengan mengundang satu atau tiga orang pakar yang membincangkan topik yang diangkat dalam buku dan pentingnya buku tersebut dibaca oleh akademisi dan budayawan Prancis. Di TV France 3, juga diselenggarakan acara Un Livre Du Jour (Buku Hari ini). Acara ini dipandu oleh Oliver Barrot yang berprofesi sebagai penulis dan produser terkenal di Prancis. Acara ini juga membahas tentang buku-buku yang menarik untuk dibaca pemirsa. Di era ini pula, Perpustakaan mulai memperhatikan pengguna untuk menemukan informasi dengan mudah. Pendidikan Pengguna Perpustakaan menjadi hal penting dan wajib dikuasai oleh pengguna Perpustakaan. Katalog berbasis kertas telah ditinggalkan dan perlahan digantikan oleh katalog offline yang bebasis Local Area Network. Disamping itu Perpustakaan juga telah melengkapi kebutuhan fisiologis pengguna dengan menyediakan akses kantin dan cafe yang dekat dengan Perpustakaan sebagai tempat makan siang. Ini membuktikan bahwa Perpustakaan telah berbasis human centric. Di era Marketing 3.0, Perpustakaan harus memperhatikan dampak jasa informasi yang diberikan terhadap proses belajar mengajardi dunia akademik. Biaya jasa informasi yang relatif mahal adakalanya membuat komplain pengguna perpustakaan. Secara garis besar, marketing informasi 1.0, 2.0 dan 3.0 dapat dikatakan marketing informasi yang masih era bagi pemasaran jasa Perpustakaan yang sifatnya masih tradisional. 

Keempat, Marketing informasi 4.0. Marketing informasi 4.0 lebih menitikberatkan pada  pemasaran dalam konteks dunia digital (online dan offline). Pada era ini dikenal pula New Users Experience (UX) yang terjadi pada setiap tahapan users journey. Era ini perpustakaan khususnya perguruan tinggi telah memiliki repository dan pangkalan data untuk menyimpan informasi koleksi perpustakaan dan jurnal elektronik baik yang diperoleh secara gratis maupun berbayar. Semuanya dapat diakses oleh pengguna Perpustakaan. Menurut Iwan (2020) dilansir via marketeres.com, customer journey terdiri dari lima tahapan yang disebut dengan 5A (Aware, Appeal, Ask, Act, dan Advocate). Di Perpustakaan Perguruan Tinggi, 5A tersebut dialami pula oleh pengguna perpustakaan. Tahap Aware berbicara mengenai bagaimana pengguna mengenal suatu informasi atau terbitan mana informasi tersebut terutama dari aspek penerbitnya, diikuti dengan tahap Appeal ketika pengguna mulai tertarik dengan informasi jurnal yang ditawarkan karena pengarang dan penerbitnya sangat terkenal dalam dunia akademik. Di tahap selanjutnya yaitu Ask, dimana pengguna akan berusaha untuk mencari tahu lebih dalam mengenai informasi jurnal atau penerbitannya. Tahapan selanjutnya adalah Act yaitu keputusan pengguna untuk membeli informasi tersebut dengan membayar biaya cetak. Ini terjadi apabila informasi tentang otoritas kepengarangan dan penerbitan, berhasil meyakinkan pengguna melalui penjelasan detail Pustakawan maka ada kemungkinan pengguna melakukan pembelian. Tahap terakhir dinamakan advocate. Jika pengguna merasa puas terhadap informasi yang disajikan pustakawan atau jasa yang dibeli sangat memuaskan, maka ia akan merekomendasikan hal tersebut kepada orang lain dari mulut ke mulut. Pada era Marketing 4.0, jejak pengguna berpindah-pindah dari online ke offline atau sebaliknya. Ini berarti adakalanya pengguna Perpustakaan Perguruan Tinggi lebih suka memanfaatkan fasilitas Perpustakaan secara online untuk mengakses jurnal elektronik gratis yang telah dibeli oleh decision maker secara tender. Disamping itu pengguna mendownload jurnal elektronik tersebut untuk diprint out melalui printernya sendiri. Perpustakaan Perguruan Tinggi ada pula yang menyediakan printer yang dapat dipakai pengguna dan cukup membayar biaya cetak saja bila dibutuhkan. Penguna juga bisa mendownload dan mendengar musik secara percuma  di Perpustakaan. Marketspace menjadi trend Perpustakaan di era Marketing Informasi 4.0. Marketspace atau ruang buatan adalah ruang kosong atau tak terpakai di Perpustakaan yang dapat digunakan untuk melakukan bisnis diluar kegiatan kepustakawanan dengan kerjasama pihak lain. Misalnya, di Perpustakaan Perguruan Tinggi dapat dibuat tempat untuk reparasi handphone atau laptop yang dapat dimanfaatkan mahasiswa untuk memperbaiki handphone dan laptopnya yang rusak. Di era ini pengguna perpustakaan memiliki pengalamannya yang unik yaitu omni experience. Omni experience adalah pengalaman pengguna perpustakaan yang mendapatkan informasi yang dibutuhkannya dengan melalui luar jaringan (luring) dan atau dalam jaringan (daring). Era ini belum berbicara mengenai Artificial Intelligence (AI), Teknologi Robotik, dan Augmented Reality (AR). Era Marketing 4.0 sebatas berbicara mengenai basic dunia digital, berbeda dengan Marketing 5.0 yang berbicara mengenai teknologi yang jauh lebih advance. Era ini berlangsung dari tahun 2008 sampai 2018.

Kelima, Marketing Informasi 5.0. Marketing informasi 5.0 fokus pada Marketing in Digital World New Users eXperience (UX) dan New Tech. Era ini berlangsung dari tahun 2019 dan masih on going. Era ini ditandai dengan maraknya penggunaan uang virtual. Pemesanan barang-barang dilakukan dengan transaksi online melalui Gopay, Dana, dan sebagainya. Intensitas transaksi dengan uang virtual lebih marak daripada tahun sebelumnya. Dilansir dari Marketeers.com, pergerakan ke arah Marketing informasi 5.0 didorong oleh jumlah generasi digital-savvy yang begitu besar, adopsi phygital lifestyle, dilema digitalisasi (dampak positif dan negatif), perkembangan teknologi yang kian matang, hingga simbiosis antara manusia dengan teknologi yang tidak bisa lagi terpisahkan. Di dunia Perpustakaan Perguruan Tinggi, Marketing informasi 5.0 menitikberatkan mengenai Next Tech dan New Users eXperience (UX). Menurut Iwan (2020), optimalisasi bisnis dapat tercapai jika perusahaan mampu memanfaatkan teknologi untuk kepentingan kemanusiaan (humanity). Kombinasi antara kekuatan teknologi dan manusia harus ditopang bersama. Hal ini disebut dengan istilah Next Tech atau bionics. Di Perpustakaan Perguruan Tinggi, kegiatan stock opname (sensus koleksi Perpustakaan), weeding (mengeluarkan koleksi tak layak pakai dari rak) dan juga shelving (penataan koleksi ke rak) dapat menggunakan robot humanoid. Penggunaan RFID (Radio Frequency Identification) dan Dropbox lebih diintensifkan oleh Perpustakaan Perguruan Tinggi. RFID adalah sistem identifikasi tanpa kabel yang memungkinkan pengambilan data tanpa harus bersentuhan seperti barcode dan magnetic card seperti ATM sedangkan Dropbox adalah tempat pengembalian koleksi Perpustakaan yang telah dipinjam oleh pengguna. Perpustakaan Perguruan Tinggi wajib “memaksakan” penggunaan teknologi baru di Perpustakaan agar pekerjaan Pustakawan menjadi efektif dan efisien. Termasuk pembayaran denda koleksi buku Perpustakaan harus memakai uang virtual. Sumbangan koleksi buku mahasiswa seyogianya cukup dengan memesan e-book yang diarahkan proses pembeliannya oleh Perpustakaan. Di Era Marketing Informasi 5.0, Perpustakaan Perguruan Tinggi wajib “memaksakan” penggunaan teknologi baru di Perpustakaan. Selain untuk meminimalisir penularan virus Covid 19, juga dapat meringankan pekerjaan Pustakawan. Pustakawan menjadi lebih fokus meneliti permasalahan yang berkembang melalui riset yang dituliskan melalui jurnal dan surat kabar.

Memang ada sisi lemah dari penggunaan teknologi. Dengan kata lain, teknologi yang maju selalu mencoba meniru manusia karena manusia adalah makhluk yang paling misterius. Manusia memiliki pemikiran, kreativitas dan leadership, dan lain-lain yang tidak mudah untuk direplikasi dan dibuatkan prototype-nya ke dalam bentuk teknologi robotik. Iwan (2020) menjelaskan bahwa AI misalnya, mencoba meniru bagaimana otak manusia bekerja. Kemampuan manusia dalam berkomunikasi yang tak jarang kerap tidak terstruktur juga telah dicoba untuk direplikasi dengan teknologi Natural Language Processing (NLP). Tidak berhenti sampai di situ, kemampuan sensing manusia telah mendorong kehadiran sensor tech, kemampuan moving melahirkan robotik, kemampuan berimajinasi menghasilkan mixed reality, hingga cara manusia dalam berkoneksi direplikasi ke dalam bentuk Internet of Things (IoT) dan Blockchain. Dengan demikian penggunaan teknologi terbaru tetap diterapkan walaupun tidak sempurna sebagaimana yang diharapkan, akan tetapi melalui uji coba terus menerus mulai dari tahap alfa dan selanjutnya, diharapkan teknologi yang kurang sempurna pada era sebelumnya menjadi lebih disempurnakan lagi penggunaannya. Dengan menggabungkan Next Tech dan New Users eXperience (UX), maka Users eXperience (UX) akan semakin efisien, meaningful, dan jasa yang ditawarkan Perpustakaan melalui marketing informasi 5.0 yang berbasis teknologi terbaru dapat meningkatkan value lebih bagi para pengguna perpustakaan.

Adaequatio intellectus nostri cum re, mencocokkan pemahaman kita dengan kenyataan sudah selayaknya dimulai di era marketing informasi 5.0. Semoga dunia kepustakawanan menjadi lebih baik di masa mendatang.

Read 7431 times Last modified on Senin, 28 Februari 2022 00:32