Iswadi Syahrial Nupin

Iswadi Syahrial Nupin

28 Februari 2022

Pada 21 Januari 2019, Jepang meresmikan Society 5.0 sebagai konsep menggunakan ilmu pengetahuan berbasis artificial intelligence, robotic dan Internet of Things (IoT). Dilansir dari website pemerintah Jepang, yaitu Cao.go.jp, disebutkan bahwa Society 5.0 diusulkan dalam Rencana Dasar Sains dan Teknologi ke-5 menjadi blue print bangsa Jepang untuk mencapai cita-citanya di masa depan. Inovasi Society 5.0 diharapkan dapat mencapai masyarakat yang berwawasan, memecah rasa stagnasi dan hidup dalam suasana nyaman.

Ada perbedaan yang signifikan antara Revolusi Industri 4.0 dengan Society 5.0. Revolusi Industri 4.0 menggunakan artificial intelligence, dan kecerdasan buatan sebagai komponen utamanya sedangkan Society 5.0 menggunakan teknologi modern dan mengandalkan manusia sebagai komponen utama. Dengan kata lain, manusia memainkan peranan penting dalam penggunaan teknologi. Manusia adalah penentu berbahaya atau tidaknya teknologi itu digunakan bagi kemanusiaan.

Ditinjau dari kajian historis, konsep Society 5.0 merupakan penyempurnaan dari konsep yang pernah ada sebelumnya. Sebagaimana yang diketahui, Society 1.0 adalah era berburu dan mengenal tulisan. Dilanjutkan dengan Society 2.0 yang biasa disebut sebagai era pertanian dan peternakan. Manusia sudah mengenal bercocok tanam dan menjinakkan hewan liar dan mengembangbiakkannya dengan cara beternak. Ketika era Society 3.0, kehidupan manusia sudah memasuki era industri. Pekerjaan manusia mulai menggunakan mesin untuk membantu pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Seiring perkembangan sains dan teknologi dalam peradaban manusia, di era Society 4.0, manusia telah mengenal komputer hingga internet. Era Society 5.0 merupakan era semua teknologi adalah bagian dari manusia itu sendiri, internet bukan hanya digunakan untuk sekedar berbagi informasi melainkan untuk menjalani kehidupan.

Konsep Society 5.0 sangat tepat diterapkan di Perpustakaan Perguruan Tinggi termasuk UPT.Perpustakaan Universitas Andalas (Unand). Pustakawan dan Sivitas Akademika Unand sebagai pemustaka dituntut mampu bekerjasama dengan baik khususnya dalam penerapan teknologi informasi yang berkembang pesat. Agar di UPT.Perpustakaan Unand dapat diterapkan Society 5.0 maka Pustakawan harus mampu menerapkan 4 C yaitu :

1. Creativity

Di lansir dari Glosarium Online, creativity adalah kemampuan untuk memikirkan sesuatu dengan cara baru atau tidak lazim, dan menghasilkan jalan keluar atau cara pemecahan yang unik untuk memecahkan masalah. Pustakawan Unand dituntut mampu mencarikan jalan keluar dengan mengaplikasikan teknologi informasi untuk mengatasi masalah di UPT.Perpustakaan Unand. Misalnya, penerapan peminjaman buku dan bebas pustaka secara mandiri berbasis internet online adalah solusi untuk menyederhanakan aktivitas pemustaka. Pemustaka yang biasanya meminjam buku dengan cara mengantri di konter dan dilayani dalam menginput proses peminjaman oleh pustakawan kini tidak ada lagi. Mahasiswa yang bebas pustaka dapat mendaftar dari rumah tanpa perlu ke UPT.Perpustakaan Unand. Aplikasi bebas pustaka UPT.Perpustakaan Unand terhubung dengan Bidang Akademi Rektorat Unand. Pihak akademik Rektorat Unand akan melakukan verifikasi. Apabila pemustaka masih mempunyai tunggakan peminjaman buku maka yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan wisuda sampai permasalahannya diselesaikan dengan UPT.Perpustakaan Unand.

2. Critical Thinking

Dilansir dari Binus University Online, critical thinking merupakan keterampilan yang memungkinkan seseorang membuat keputusan yang logis, berdasarkan informasi yang didapat dan diolah sesuai kemampuan. Pustakawan yang critical thinking adalah pustakawan yang memiliki rasa ingin tahu, kreativitas, tekun dan obyktif. Pustakawan yang apatis dan tidak adaptif dipastikan tidak akan mampu membuat keputusan logis yang didasarkan atas informasi yang dianalisisnya. Misalnya, UPT.Perpustakaan Unand memiliki tingkat kunjungan yang tinggi pada websitenya namun jumlah pengunjung tidak dapat dideteksi karena ketiadaan tools yang memudahkan memantau trafik website. Oleh karena itu pustakawan perlu mengusulkan pembelian software SEMrush untuk memantau kunjungan pemustaka yang mengakses website kepada decision maker.

3. Communication

Mulyana (2007) mendefinisikan bahwa komunikasi adalah proses menyarankan suatu pikiran, suatu makna, atau suatu pesan yang dianut secara sama. Era Society 5.0 menuntut Pustakawan Unand memahami komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), komunikasi kelompok (group communication), komunikasi organisasi (organization communication) dan komunikasi massa (mass communication). Efendy (1993) Komunikasi intrapribadi mencakup komunikasi antara dua orang dimana kontak langsung terjadi dalam bentuk percakapan, bisa langsung berhadapan muka (face to face) atau bisa melalui media seperti telepon. Pustakawan seyogianya mampu berkomunikasi dengan baik kepada atasan, rekan kerja dan bawahan serta pemustaka. Adanya kemampuan komunikasi yang baik maka akan dicapai pula kerjasama yang baik dengan semua pihak yang bersangkutan. Pustakawan perlu pula membina komunikasi kelompok. Dilansir via Wikipedia Online, komunikasi kelompok adalah komunikasi yang dilakukan oleh beberapa orang dengan jumlah minimal 3 orang atau lebih. Dalam komunikasi kelompok, tiap peserta akan berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lain, dan memandang sebagai bagian dari kelompok. Di UPT.Perpustakaan Unand ada beberapa Bidang Kerja seperti Automasi, Sirkulasi, Tata Usaha, dan Pengolahan Koleksi. Antara Bidang Kerja yang berbeda itu diharapkan satu sama lain bersinergi demi menyukseskan visi dan misi UPT.Perpustakaan Unand. Komunikasi yang baik antara pustakawan di bidang kerja yang satu dengan yang lain membuat produktivitas kerja menjadi semakin baik. Misalnya, masalah digitalitasi grey literature. Koleksi skripsi, tesis dan disertasi yang akan didigitalisasi diturunkan dari rak Local Content dan selanjutnya dibawa ke Bidang Kerja Automasi. Di Automasi karena jumlah staf yang sedikit didiskusikan secara bersama sehingga pekerjaan digitalisasi masuk dalam kegiatan lembur UPT.Perpustakaan Unand. Kegiatan ini dikerjakan setiap hari Sabtu dengan rekan-rekan di Bagian Pengolahan Koleksi. Ini akan terjadi kalau komunikasi kelompok itu terwujud dengan baik yang didasari atas espirit de corps yang tinggi sesama Pustakawan. Komunikasi Organsasi perlu pula ditingkatkan di UPT.Perpustakaan Unand. Goldhaber (1989) menyatakan bahwa komunikasi organisasi adalah proses menciptakan dan pertukaran pesan dalam sebuah jaringan hubungan yang saling tergantung satu dengan yang lain untuk mengatasi lingkungan yang tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah. Misalnya, informasi kenaikan jabatan pustakawan. Pustakawan Unand seyogianya dapat berkomunikasi dengan baik kepada pihak Bagian Kepegawaian Hukum dan Tata Laksana sehingga tidak ada lagi permasalahan tentang kenaikan pangkat Pustakawan. Penguasaan ilmu komunikasi massa perlu pula dipahami oleh Pustakawan Unand. Dilansir dari Wikipedia, komunikasi massa adalah proses di mana organisasi media membuat dan menyebarkan pesan kepada khalayak banyak. Aktivitas Pustakawan Unand telah merambah dunia media sosial (medsos). UPT.Perpustakaan Unand memiliki Facebook dan Instagram yang digunakan untuk menyampaikan informasi kepada Pemustaka. Pemustaka dapat mengetahui kegiatan apa yang akan, sedang dan telah berlangsung tanpa harus datang ke Perpustakaan. Hanya dengan Like dan Follow Facebook dan Instagram UPT.Perpustakaan Unand via gadged. Website Perpustakaan dapat juga dikatakan media komunikasi antara Pustakawan dengan Pemustaka. Pemustaka dapat menyampaikan koleksi yang perlu diadakan dan masukan lain melalui surat elektronik untuk kemajuan Perpustakaan. Website UPT.Perpustakaan Unand juga berisi informasi tentang berita dan esai kepustakawaan. Oleh karena itu pustakawan perlu senantiasa belajar kaidah penulisan berita dalam kajian jurnalistik dan juga penulisan esai yang baik dan mudah dipahami oleh pemustaka.

4. Collaboration

Dilansir dari Badan Litbang Diklat Hukum dan Peradilan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Collaboration atau kolaborasi adalah bentuk kerjasama, interaksi, kompromi beberapa elemen yang terkait baik individu, lembaga dan atau pihak-pihak yang terlibat secara langsung dan tidak langsung yang menerima akibat dan manfaat. Pustakawan dituntut mampu berkolaborasi dengan unit kerja di lembaga yang menaunginya. Pustakawan Unand harus mampu berkolaborasi secara internal dengan pihak fakultas, lembaga dan unit kerja dilingkungan Unand. Pustakawan juga harus mampu bekerja sama dengan pihak Perpustakaan kampus yang berada di luar Unand baik Perpustakaan Perguruan Tinggi Negeri maupun Perpustakaan Perguruan Tinggi Swasta. Misalnya kerjasama dalam membentuk Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi Indonesia (FPPTI). Pustakawan baik Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta bekerja sama mewujudkan keberadaan FPPTI dan melaksanakan kegiatan yang diagendakan. Dapat pula dirancang proses peminjaman koleksi bersama. Dengan kata lain, koleksi UPT.Perpustakaan Unand dapat dipinjam oleh pemustaka Perpustakaan Perguruan Tinggi Swasta yang Perpustakaannya terdaftar menjadi Anggota FPPTI. Data peminjaman pemustaka Perpustakaan Perguruan Tinggi Swasta dapat diketahui bersama secara online. Selama pemustaka tersebut memiliki tunggakan peminjaman buku maka yang bersangkutan tidak dapat melaksanakan wisuda. Untuk mewujudkan hal tersebut dapat dirancang database Perpustakaan bersama antar anggota FPPTI.

            Omnia mutantur nos et mutamur in illis, kita semua harus berubah dan berubah didalamnya. Era Society 5.0 telah mendisrupsi semua pekerjaan yang telah baku sebelumnya. Pustakawan wajib melakukan transformasi pengetahuan dan adaptif dengan perubahan yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Sikap sebagai pembelajar mandiri menjadi keniscayaan bagi pustakawan untuk tetap eksis dalam dunia kepustakawanan.

28 Februari 2022

Sebagaimana yang diketahui bersama bahwa Perpustakaan Perguruan Tinggi memiliki peran sebagai media penyebaran informasi yang dibutuhkan oleh pemustaka. Informasi yang dimiliki Perpustakaan Perguruan Tinggi dalam bentuk koleksi tercetak dan terdigitasi merupakan aset yang memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Koleksi manuskrip kuno dan langka yang biasa menjadi rebutan kolektor barang antik akan lebih bernilai komersial yang tinggi apabila isi manuskrip tersebut diketahui makna dan narasinya. Wendy Diamond dan Michael Oppenheim (2004) mengatakan bahwa informasi menjadi kunci sukses suatu bisnis, dan para manajer mau membayar ketika membutuhkannya. Dengam kondisi ini semua  dikomersialisasikan, mulai barang, jasa hingga informasi. Pergeseran paradigma ini merupakan efek dari globalisasi politik ekonomi dunia.

Sejarah marketing informasi di Perpustakaan Perguruan Tinggi memiliki sejarah yang sangat panjang. Bermula sejak ditemukannya mesin cetak oleh Johannes Gutenberg lahir antara tahun 1394-1404 di Kota Mainz, Jerman. Namun, pada 1890 Kota Mainz menyatakan bahwa tanggal lahir simbolisnya adalah 24 Juni 1400. Lahir dengan nama lengkap Johannes Gensfleisch zur Laden zum Gutenberg, ia adalah putra dari seorang pedagang yang dulunya pernah menjadi bangsawan Jerman.

Universitas Mainz yang juga dikenal dengan nama Johannes Gutenberg University Mainz yang dibangun tahun 1477 dapat dikatakan Universitas pertama yang menggunakan mesin cetak yang dibuat Johannes Gutenberg. Selanjutnya mesin cetak ini menyebar penggunaannya ke seluruh Universitas yang berada Benua Eropa. Johannes Guttenberg tetap dikenal dunia sebagai father of printing revolution. Bisa dikatakan kalau mesin cetak buatan Guttenberg jadi cikal bakal kemunculan mesin-mesin cetak lain yang saat ini digunakan oleh orang-orang dunia.

Berdasarkan pengalaman penulis melakukan PKL (Praktek Kerja Lapangan) di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara (USU) pada tahun 1997, praktek marketing informasi telah dilaksanakan oleh Perpustakaan. Mahasiswa Fakultas Kedokteran USU yang mengambil Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) dan para dosen Fakultas Kedokteran USU sering berlalu lalang dibagian Layanan Informasi. Mereka sebelumnya memesan informasi terseleksi tersebut dari ruang kerjanya. Informasi yang dipesan biasanya adalah jurnal elektronik tentang kedokteran yang masa itu sangat susah diperoleh kecuali melalui akses internet yang masih relatif mahal. Sebelum memesan jurnal elektronik, para dokter terlebih dahulu melihat Index Medicus. Index Medicus adalah suatu alat penelusuran yang berbentuk buku indeks makalah yang diterbitkan oleh Perpustakaan Nasional Kedoktaran (National Library of Medicine-NLM). Melakukan penelusuran dengan menggunakan Index Medicus bagian indeks penulisannya tidaklah terlalu sukar. Para dokter yang telah mendapat informasi yang dipesan berupa jurnal elektronik yang telah di print out  membayar biaya jasa informasi sebesar Rp.10.000,- tergantung jumlah judul atau subyek yang dipesan.

Berdasarkan garis waktu, orientasi marketing informasi selalu berubah dari masa ke masa. Salah satunya adalah segmentasi pasar yang makin bervariasi seiring dengan penggunaan teknologi informasi yang makin berkembang pesat. Berikut ini adalah timeline marketing informasi :

Pertama, Marketing informasi 1.0. Marketing informasi 1.0 lebih menekankan pada product- driven. Secara leksikal product-driven bermakna berorientasi produk. Perpustakaan dekade 1900 sebelum terjadinya malaise atau kelesuan ekonomi di Amerika Serikat yang terjadi pada 1929 sampai dengan 1939. Perpustakaan cenderung menekankan pengadaan koleksi tercetak sebanyak-banyaknya. Ini juga mengakibatnya tingginya pemesanan meubelair seperti rak, meja dan kursi. Kajian tentang siapa pengguna informasi dan informasi apa yang layak bagi pengguna belum menjadi isu yang menarik dalam ranah kajian ilmu perpustakaan secara umum. Pengguna dibiarkan memilih informasi tanpa adanya arahan. Kegiatan bedah buku untuk mempromosikan informasi yang terdapat dalam buku best seller masih belum banyak dilakukan oleh Pustakawan. 

Kedua, Marketing informasi 2.0. Marketing informasi 2.0 berorientasi pada kebutuhan pengguna (costumer-oriented). Lanskap dunia yang berubah karena Depresi Besar atau kelesuan ekonomi dunia yang terjadi awal tahun 1930 an memunculkan segmentasi di era marketing informasi 2.0. Segmentasi pasar mulai bervariatif dengan ragam kebutuhan individu masa itu. Garis watu untuk mengilustrasikan era ini adalah tahun 1929 sampai 1950an. Penggunaan microfische atau mikrofilm sebagai sarana penyimpanan informasi mulai berkembang dan hanya orang-orang tertentu yang dapat mengakses informasinya dengan izin Pustakawan. Koleksi buku tercetak masih sangat mendominasi.  Masa itu Perpustakaan lebih fokus kepada kebutuhan informasi pengguna. Penyebaran informasi yang tersedia di Perpustakaan mulai menggunakan media massa. Perpustakaan mulai melakukan kajian informasi tentang segmentasi pasarnya dan informasi apa yang dibutuhkan oleh pengguna perpustakaan.

Ketiga, Marketing informasi 3.0. Marketing informasi 3.0 menekankan pada hidden needs dari costumer dan berbasis human centric. Contoh yang tepat untu melukiskan era ini adalah Perpustakaan dekade 50an sampai tahun 2008. Perpustakaan dituntut melakukan kajian yang lebih mendalam tentang apa kebutuhan pengguna yang tersembunyi. Promosi Perpustakaan mulai gencar memasuki media pandang dengar. TV 5 yaitu Televisi Prancis setiap jam 21.30 WIB atau jam 15.30 Waktu Prancis disiarkan acara Bouillon de Culture atau ramuan kaldu budaya dalam terjemahan leksikal merupakan acara talkshow mingguan yang bertemakan budaya dan sastra yang dipandu Bernard Pivot. Yang menarik dari acara ini adalah sang pemandu acara memegang buku yang dibahas dengan mengundang satu atau tiga orang pakar yang membincangkan topik yang diangkat dalam buku dan pentingnya buku tersebut dibaca oleh akademisi dan budayawan Prancis. Di TV France 3, juga diselenggarakan acara Un Livre Du Jour (Buku Hari ini). Acara ini dipandu oleh Oliver Barrot yang berprofesi sebagai penulis dan produser terkenal di Prancis. Acara ini juga membahas tentang buku-buku yang menarik untuk dibaca pemirsa. Di era ini pula, Perpustakaan mulai memperhatikan pengguna untuk menemukan informasi dengan mudah. Pendidikan Pengguna Perpustakaan menjadi hal penting dan wajib dikuasai oleh pengguna Perpustakaan. Katalog berbasis kertas telah ditinggalkan dan perlahan digantikan oleh katalog offline yang bebasis Local Area Network. Disamping itu Perpustakaan juga telah melengkapi kebutuhan fisiologis pengguna dengan menyediakan akses kantin dan cafe yang dekat dengan Perpustakaan sebagai tempat makan siang. Ini membuktikan bahwa Perpustakaan telah berbasis human centric. Di era Marketing 3.0, Perpustakaan harus memperhatikan dampak jasa informasi yang diberikan terhadap proses belajar mengajardi dunia akademik. Biaya jasa informasi yang relatif mahal adakalanya membuat komplain pengguna perpustakaan. Secara garis besar, marketing informasi 1.0, 2.0 dan 3.0 dapat dikatakan marketing informasi yang masih era bagi pemasaran jasa Perpustakaan yang sifatnya masih tradisional. 

Keempat, Marketing informasi 4.0. Marketing informasi 4.0 lebih menitikberatkan pada  pemasaran dalam konteks dunia digital (online dan offline). Pada era ini dikenal pula New Users Experience (UX) yang terjadi pada setiap tahapan users journey. Era ini perpustakaan khususnya perguruan tinggi telah memiliki repository dan pangkalan data untuk menyimpan informasi koleksi perpustakaan dan jurnal elektronik baik yang diperoleh secara gratis maupun berbayar. Semuanya dapat diakses oleh pengguna Perpustakaan. Menurut Iwan (2020) dilansir via marketeres.com, customer journey terdiri dari lima tahapan yang disebut dengan 5A (Aware, Appeal, Ask, Act, dan Advocate). Di Perpustakaan Perguruan Tinggi, 5A tersebut dialami pula oleh pengguna perpustakaan. Tahap Aware berbicara mengenai bagaimana pengguna mengenal suatu informasi atau terbitan mana informasi tersebut terutama dari aspek penerbitnya, diikuti dengan tahap Appeal ketika pengguna mulai tertarik dengan informasi jurnal yang ditawarkan karena pengarang dan penerbitnya sangat terkenal dalam dunia akademik. Di tahap selanjutnya yaitu Ask, dimana pengguna akan berusaha untuk mencari tahu lebih dalam mengenai informasi jurnal atau penerbitannya. Tahapan selanjutnya adalah Act yaitu keputusan pengguna untuk membeli informasi tersebut dengan membayar biaya cetak. Ini terjadi apabila informasi tentang otoritas kepengarangan dan penerbitan, berhasil meyakinkan pengguna melalui penjelasan detail Pustakawan maka ada kemungkinan pengguna melakukan pembelian. Tahap terakhir dinamakan advocate. Jika pengguna merasa puas terhadap informasi yang disajikan pustakawan atau jasa yang dibeli sangat memuaskan, maka ia akan merekomendasikan hal tersebut kepada orang lain dari mulut ke mulut. Pada era Marketing 4.0, jejak pengguna berpindah-pindah dari online ke offline atau sebaliknya. Ini berarti adakalanya pengguna Perpustakaan Perguruan Tinggi lebih suka memanfaatkan fasilitas Perpustakaan secara online untuk mengakses jurnal elektronik gratis yang telah dibeli oleh decision maker secara tender. Disamping itu pengguna mendownload jurnal elektronik tersebut untuk diprint out melalui printernya sendiri. Perpustakaan Perguruan Tinggi ada pula yang menyediakan printer yang dapat dipakai pengguna dan cukup membayar biaya cetak saja bila dibutuhkan. Penguna juga bisa mendownload dan mendengar musik secara percuma  di Perpustakaan. Marketspace menjadi trend Perpustakaan di era Marketing Informasi 4.0. Marketspace atau ruang buatan adalah ruang kosong atau tak terpakai di Perpustakaan yang dapat digunakan untuk melakukan bisnis diluar kegiatan kepustakawanan dengan kerjasama pihak lain. Misalnya, di Perpustakaan Perguruan Tinggi dapat dibuat tempat untuk reparasi handphone atau laptop yang dapat dimanfaatkan mahasiswa untuk memperbaiki handphone dan laptopnya yang rusak. Di era ini pengguna perpustakaan memiliki pengalamannya yang unik yaitu omni experience. Omni experience adalah pengalaman pengguna perpustakaan yang mendapatkan informasi yang dibutuhkannya dengan melalui luar jaringan (luring) dan atau dalam jaringan (daring). Era ini belum berbicara mengenai Artificial Intelligence (AI), Teknologi Robotik, dan Augmented Reality (AR). Era Marketing 4.0 sebatas berbicara mengenai basic dunia digital, berbeda dengan Marketing 5.0 yang berbicara mengenai teknologi yang jauh lebih advance. Era ini berlangsung dari tahun 2008 sampai 2018.

Kelima, Marketing Informasi 5.0. Marketing informasi 5.0 fokus pada Marketing in Digital World New Users eXperience (UX) dan New Tech. Era ini berlangsung dari tahun 2019 dan masih on going. Era ini ditandai dengan maraknya penggunaan uang virtual. Pemesanan barang-barang dilakukan dengan transaksi online melalui Gopay, Dana, dan sebagainya. Intensitas transaksi dengan uang virtual lebih marak daripada tahun sebelumnya. Dilansir dari Marketeers.com, pergerakan ke arah Marketing informasi 5.0 didorong oleh jumlah generasi digital-savvy yang begitu besar, adopsi phygital lifestyle, dilema digitalisasi (dampak positif dan negatif), perkembangan teknologi yang kian matang, hingga simbiosis antara manusia dengan teknologi yang tidak bisa lagi terpisahkan. Di dunia Perpustakaan Perguruan Tinggi, Marketing informasi 5.0 menitikberatkan mengenai Next Tech dan New Users eXperience (UX). Menurut Iwan (2020), optimalisasi bisnis dapat tercapai jika perusahaan mampu memanfaatkan teknologi untuk kepentingan kemanusiaan (humanity). Kombinasi antara kekuatan teknologi dan manusia harus ditopang bersama. Hal ini disebut dengan istilah Next Tech atau bionics. Di Perpustakaan Perguruan Tinggi, kegiatan stock opname (sensus koleksi Perpustakaan), weeding (mengeluarkan koleksi tak layak pakai dari rak) dan juga shelving (penataan koleksi ke rak) dapat menggunakan robot humanoid. Penggunaan RFID (Radio Frequency Identification) dan Dropbox lebih diintensifkan oleh Perpustakaan Perguruan Tinggi. RFID adalah sistem identifikasi tanpa kabel yang memungkinkan pengambilan data tanpa harus bersentuhan seperti barcode dan magnetic card seperti ATM sedangkan Dropbox adalah tempat pengembalian koleksi Perpustakaan yang telah dipinjam oleh pengguna. Perpustakaan Perguruan Tinggi wajib “memaksakan” penggunaan teknologi baru di Perpustakaan agar pekerjaan Pustakawan menjadi efektif dan efisien. Termasuk pembayaran denda koleksi buku Perpustakaan harus memakai uang virtual. Sumbangan koleksi buku mahasiswa seyogianya cukup dengan memesan e-book yang diarahkan proses pembeliannya oleh Perpustakaan. Di Era Marketing Informasi 5.0, Perpustakaan Perguruan Tinggi wajib “memaksakan” penggunaan teknologi baru di Perpustakaan. Selain untuk meminimalisir penularan virus Covid 19, juga dapat meringankan pekerjaan Pustakawan. Pustakawan menjadi lebih fokus meneliti permasalahan yang berkembang melalui riset yang dituliskan melalui jurnal dan surat kabar.

Memang ada sisi lemah dari penggunaan teknologi. Dengan kata lain, teknologi yang maju selalu mencoba meniru manusia karena manusia adalah makhluk yang paling misterius. Manusia memiliki pemikiran, kreativitas dan leadership, dan lain-lain yang tidak mudah untuk direplikasi dan dibuatkan prototype-nya ke dalam bentuk teknologi robotik. Iwan (2020) menjelaskan bahwa AI misalnya, mencoba meniru bagaimana otak manusia bekerja. Kemampuan manusia dalam berkomunikasi yang tak jarang kerap tidak terstruktur juga telah dicoba untuk direplikasi dengan teknologi Natural Language Processing (NLP). Tidak berhenti sampai di situ, kemampuan sensing manusia telah mendorong kehadiran sensor tech, kemampuan moving melahirkan robotik, kemampuan berimajinasi menghasilkan mixed reality, hingga cara manusia dalam berkoneksi direplikasi ke dalam bentuk Internet of Things (IoT) dan Blockchain. Dengan demikian penggunaan teknologi terbaru tetap diterapkan walaupun tidak sempurna sebagaimana yang diharapkan, akan tetapi melalui uji coba terus menerus mulai dari tahap alfa dan selanjutnya, diharapkan teknologi yang kurang sempurna pada era sebelumnya menjadi lebih disempurnakan lagi penggunaannya. Dengan menggabungkan Next Tech dan New Users eXperience (UX), maka Users eXperience (UX) akan semakin efisien, meaningful, dan jasa yang ditawarkan Perpustakaan melalui marketing informasi 5.0 yang berbasis teknologi terbaru dapat meningkatkan value lebih bagi para pengguna perpustakaan.

Adaequatio intellectus nostri cum re, mencocokkan pemahaman kita dengan kenyataan sudah selayaknya dimulai di era marketing informasi 5.0. Semoga dunia kepustakawanan menjadi lebih baik di masa mendatang.

29 Desember 2021

Istilah inklusi sosial dalam kajian ilmu perpustakaan dapat dikatakan masih baru. Istilah ini lazim digunakan sekitar awal tahun 2019. Pedoman mengimplementasikan konsep inklusi sosial dirumuskan di Inggris yang penerapannya terbatas pada Perpustakan Umum. Dari perspektif sejarah, konsep inklusi sosial mulai dikenal publik  pada tahun 1970-an di Prancis sebagai respon terhadap krisis kesejahteraan di negara-negara Eropa, yang memiliki dampak yang meningkat pada kerugian sosial di Eropa. Konsep ini menyebar ke seluruh Eropa dan Inggris sepanjang tahun 1980-an dan 90-an. Konsep ini mendapatkan perhatian yang luas setelah dibahas pada Konferensi Tingkat Tinggi World Summit for Social Development, Copenhagen, Denmark, 6-12 March 1995 atau dikenal dengan Copenhagen Declaration on Social Development. Deklarasi pembangunan sosial ini menekankan pada konsensus program aksi baru tentang perlunya menempatkan masyarakat di pusat pembangunan.

Inklusi sosial didefinisikan sebagai …cara partisipatif, otentik, dan akuntabel di mana lembaga menjunjung tinggi dan memperkuat prinsip-prinsip akses, kesetaraan dan, sebagai hasilnya, inklusi sosial bagi semua golongan (Canadian Urban Council Libraries, 2010). Dari batasan ini dapat dikatakan bahwa inklusi sosial di perpustakaan apa pun bentuknya seyogianya melibatkan partisipasi semua golongan termasuk minoritas. Susanti (2019) menguraikan batasan tersebut dengan menyatakan bahwa ketika sebuah institusi melaksanakan prinsip partisipatori dan menyediakan akses secara berimbang terhadap semua orang, maka hasil akhir dari kegiatan institusi tersebut adalah pelaksanaan inklusi sosial.

Agar Perpustakaan dikatakan telah mengimplementasikan inklusi sosial maka Perpustakaan harus mampu memberikan jaminan atau kesempatan enam kelompok yang mungkin terkena eksklusi sosial di masyarakat yaitu korban diskriminasi, intoleransi dan kekerasan berbasis agama; korban pelanggaran HAM berat; waria; masyarakat adat dan lokal terpencil yang tergantung pada sumber daya alam; disabilitas; dan anak dan remaja rentan (Azyumardi Azra, 2016).

Perpustakaan Perguruan Tinggi didefinisikan sebagai sebuah entitas yang menjadi bagian integral sebuah institusi Perguruan Tinggi, yang bertugas untuk menjadi pusat sumber belajar dengan menyediakan koleksi yang terorganisir dengan baik, staf yang terlatih untuk menyediakan informasi yang tepat, serta memiliki fasilitas fisik yang diperlukan untuk mendukung aktifitas Tridharma Perguruan Tinggi. Kekhasan koleksi Perpustakaan Perguruan Tinggi adalah subjek koleksinya yang sangat ilmiah, karena tujuan pengadaannya adalah untuk mendukung kegiatan belajar mengajar serta penelitian bagi civitas akademica. Dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, koleksi ilmiah ini mengalami perubahan bentuk, dari koleksi tercetak menjadi digital. Efek sampingnya adalah adanya ‘kewajiban’ bagi perpustakaan untuk menyediakan peralatan pendukung yang memadai untuk pembacaan berbagai koleksi digital ini.

Konsep Perpustakaan berbasis inklusi sosial sebagian besar telah dijalankan di Perpustakaan Unand. Bagi penyandang disabilitas atau tuna daksa tersedia mebelair khusus untuk dapat mengakses koleksi perpustakaan. Kedepan bagi tuna netra perlu pula disediakan yakni signage dengan huruf braille yang dapat dibaca sehingga membantu tuna netra untuk memahami fasilitas yang tersedia di Perpustakaan Unand. Bagi mahasiswa non Minang seperti dari Indonesia Timur seperti Tanah Papua tetap dilayani dengan baik tanpa diskriminasi. Gedung Perpustakaan Unand pernah digunakan sebagai tempat acara kegiatan Pameran dan Pelatihan Preservasi Khazanah Manuskrip Minangkabau yang diinisiasi oleh Bidang Kebudayaan Kemendikbudristek dan dilaksanakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Minangkabau, Minangkabau Corner dengan mengundang Komunitas Suluah Padang yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsern dengan Adat dan Budaya Minangkabau serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumbar. Tidak ditemukan pula pemustaka waria, korban kekerasan intoleransi dan korban pelanggaran HAM di Perpustakaan Unand. Dengan demikian secara fakta dan realita Perpustakaan Unand telah melaksanakan inklusi sosial yang baik. Perpustakaan Unand juga pernah memberikan hibah buku pada Masjid Al-Jadid yang berada disekitar Kampus Unand dalam momentum Acara Safari Ramadhan.

Transformasi Perpustakaan Unand menjadi perpustakaan yang berbasis inklusi sosial harus paralel dengan implementasi Tridharma Perguruan Tinggi terutama pada poin pengabdian pada masyarakat yakni dengan mengembangkan layanan serta advokasi literasi dan minat baca seluas-luasnya, terutama bagi masyarakat yang ada di sekitar lokasi perguruan tinggi. Bentuknya bisa berupa pelatihan-pelatihan atau workshop terkait literasi, baik dengan memberikan penghargaan bunda literasi maupun pemuda literasi.

Oleh karena itu, Perpustakaan Unand tidak boleh lagi menjadi menara gading sehingga tidak peduli dengan perkembangan literasi yang terjadi pada masyarakat disekitar lingkungan Perpustakaan Unand. Pustakawan harus turun ke bawah berjuang bersama pegiat literasi untuk memerangi hoaks agar masyarakat paham mana yang fakta dan realita serta mana pula yang disebut informasi palsu. Pustakawan perlu menjelaskan konten yang tidak baik diakses seperti pornografi dan radikalisme termasuk konten yang sifatnya gambling (perjudian) yang bertebaran di dunia maya. Kegiatan Pustakawan yang berkaitan dengan pengenalan literasi bagi masyarakat sekitar dapat dijadikan angka kredit bagi Pustakawan untuk naik jabatan karena Pustakawan dalam kegiatan tersebut menjadi narasumber dan penyaji serta moderator. Keuntungan penerapan inklusi sosial oleh Perpustakaan Unand memiliki keuntungan bagi Universitas Andalas karena masyarakat melihat kegiatan yang dilakukan Pustakawan sebagai bentuk University Social Responsibility (USR) dalam pengabdian masyarakat khususnya memberikan sharing pengetahuan tentang cara mengakses informasi yang sehat.

Implementasi inklusi sosial di Perpustakaan Unand perlu dibuatkan rancang bangun dan konsepnya dengan jelas. Konsep inklusi social tersebut dijabarkan secara tertulis pada Buku Pedoman Layanan Perpustakaan Unand. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi beda persepsi antara Pustakawan dengan decision maker. Perpustakaan Unand perlu berkoordinasi dengan Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu (LP3M) dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) untuk meminta advise. Rancang bangun dan konsep inklusi sosial yang diterapkan wajib dirumuskan melalui Rapat Koordinasi yang juga melibatkan Wakil Rektor I Universitas Andalas. Success non solum fit pernoctare, sukses tidak begitu saja terjadi dalam semalam !. Kerjasama semua pihak menjadi keharusan.

21 Desember 2021

Pada tanggal 15 Desember 2021 yang lalu telah dilaksanakan Rapat Koordinasi Universitas Andalas dengan tema Transformasi Menuju Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) secara hybrid di Hotel Mercure, Padang. Dalam acara tersebut Rektor Unand, Prof. Dr. Yuliandri, SH; MH, mengatakan bahwa ada tiga hal yang kita lakukan, pertama kita harus mengerti dulu apa yang harus ditransformasikan, apa tujuan dan aspek yang akan kita lakukan pada sebuah transformasi ini, kedua adalah keinginan untuk mengeksekusi program-program yang akan kita transformasikan dan ketiga adalah keinginan untuk menyelesaikan transformasi tersebut. Rakor ini dihadiri oleh seluruh unsur pimpinan Universitas Andalas mulai dari Rektor, Wakil Rektor I,II,III, dan IV, Ketua Senat Akademik, anggota senat, Direktur dan Wakil Direktur RS UNAND, Direktur dan Wakil Direktur Pascasarjana, Ketua dan Sekretaris Lembaga, Ketua UPT, Ketua dan Sekretaris SPI, Dekan, Wakil Dekan I, II,dan III, Kepala Biro, dan Koordinator di Lingkungan Universitas Andalas.

Berdasarkan pernyataan singkat Rektor Unand diatas berulang kali beliau menyebutkan kata transformasi. Secara leksikal disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, transformasi didefinisikan sebagai perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya) dan dalam makna linguistik berarti perubahan struktur gramatikal menjadi struktur gramatikal lain dengan menambah, mengurangi, atau menata kembali unsur-unsurnya. Pernyataan Rektor Unand ini dapat ditafsirkan bahwa terdapat kemungkinan Unand menata SOTK (Struktur Organisasi dan Tata Kerja) yang telah ada sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan PTNBH (Perguruan Tinggi Badan Hukum). Ini berarti bahwa ada organisasi yang dimergerkan atau digabungkan menjadi satu dengan nama direktorat atau nama lain sesuai dengan kesepakatan decision maker.

Awal November 2021, penulis telah mengirim makalah kepada decision maker yang berjudul Restrukturisasi Kedudukan UPT.Perpustakaan dan Kearsipan sesuai SOTK (Satuan Organisasi dan Tata Kerja) pada Perguruan Tinggi Badan Hukum Universitas Andalas. Intinya tulisan ini menjelaskan pentingnya penggabungan dua Unit Pelaksana Teknis dilakukan mengingat adanya job description yang sama dan efisiensi penggunaan Anggaran Unand terkait dengan pembelian peralatan yang dipergunakan untuk bekerja di bidang kepustakawanan dan kearsipan. Keuntungan penggabungan UPT.Perpustakaan dan UPT.Kearsipan yaitu terjadinya kolaborasi penelitian antara Pustakawan dan Arsiparis serta sharing knowledge dalam bentuk webinar dan seminar. Kegiatan yang mancakrida dan capacity building dapat dilakukan pula secara bersama kedua kelompok fungsional tersebut.

Unand perlu mendirikan Museum sebagai wadah konservasi, edukasi sejarah dan antropologi serta arkeologi, riset serta rekreasi. Struktur organisasinya berada pada Direktorat Perpustakaan dan Arsip. Ini memungkinkan apabila penggabungan tersebut direstui oleh decision maker. Museum Unand layak bergabung dibawah satu direktorat bersama Arsip dan Perpustakaan karena tugas museum adalah menyimpan dan melestarikan benda bersejarah. Fungsi menyimpan dan melestarikan juga dilakukan oleh perpustakaan dan arsip. dalam bentuk buku dan dokumen berharga. Stern (2007) menyatakan museum adalah University Heritage (Warisan Universitas) disamping perpustakaan dan arsip universitas.  Di Indonesia, Universitas yang memiliki museum adalah Universitas Islam Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga dan Universitas Pendidikan Indonesia.

Penggabungan antara Perpustakaan dengan Kearsipan memiliki dasar hukum yaitu PP No.18 tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah pada ayat 3 dan 4 point g : Ayat (3) berbunyi: Penggabungan Urusan Pemerintahan dalam 1 (satu) dinas Daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada perumpunan Urusan Pemerintahan dengan kriteria: kedekatan karakteristik Urusan Pemerintahan; dan/atau keterkaitan antar penyelenggaraan Urusan Pemerintahan. Sedangkan ayat (4) berbunyi: Perumpunan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi : g. perpustakaan dan kearsipan.

Selanjutnya, ayat 5 menjelaskan bahwa penggabungan Urusan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling banyak 3 (tiga) Urusan Pemerintahan. Berdasarkan pernyataan ini disebutkan bahwa tiga urusan pemerintahan yang dapat membentuk satu Dinas. Dengan demikian sangat tepat kedepannya apabila Arsip, Perpustakaan dan Museum Universitas Andalas bergabung dalam satu Direktorat atau nama lain yang ditetapkan oleh decision maker.

Penulis berharap agar penggabungan antara UPT.Perpustakaan dan UPT.Kearsipan Unand membawa maslahat bagi kepentingan pendidikan di Unand. Perampingan struktur organisasi seyogianya dapat meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja organisasi. Apabila ekspektasi tidak sesuai realita, penulis tetap berhusnuzhan bahwa keputusan decision maker tersebut mungkin yang terbaik bagi UPT.Perpustakaan Unand untuk menyukseskan lembaga yang menaunginya di masa mendatang.  Omnium Rerum Principia Parva Sunt, semua dimulai dengan hal kecil.