Print this page

Menjadikan Barcode Koleksi Perpustakaan Perguruan Tinggi Lebih Bermakna

23 November 2017

Barcode atau kode batang merupakan kumpulan data optik yang bisa dibaca oleh mesin. Penggunaan kode batang pada awalnya diinisiasi oleh Wallace Flint pada tahun 1932 untuk membuat sistem pemerikasaan barang perusahaan retail. Seiring dengan perkembangannya, saat ini barcode sudah menjadi bagian terpenting dari identitas sebuah produk.

Di dunia perpustakaan barcode juga digunakan untuk memberikan identitas atau label buku. Kode barcode buku diberikan berdasarkan nomor ISBN, yang disusun menggunakan simbol EAN-13 (EAN = European Articel Number). Akan tetapi ketika buku tersebut diolah di perpustakaan, biasanya akan dilakukan pelabelan ulang, disesuaikan dengan sistem pengindeks-an yang digunakan oleh  perpustakaan tersebut. 

Di perpustakaan yang sudah menerapkan sistem komputerisasi, nomor barcode biasanya dijadikan sebagai nomor identitas koleksi. Di dalam database nomor identitas biasanya dijadikan sebagai primary key, suatu nilai/kolom dalam basis data untuk mengidentifikasi suatu baris atau record. Ketika suatu kolom dijadikan sebagai primary key maka nilainya harus unik, tidak boleh ada nilai yang sama.

Struktur Penulisan Barcode

Begitu juga dengan barcode, karena dijadikan sebagai nomor identitas, kodenya juga harus unik. Setiap koleksi, nomor barcodenya harus berbeda, karena ketika ada nomor barcode yang sama, akan menyebabkan inkonsistensi data (nomor barcode yang sama pada koleksi yang berbeda), atau redundancy data (nomor barcode yang dientrikan secara berulang untuk data yang sama).

Dalam menyusun nomor barcode, harus dilakukan secara terstruktur. Nomor tersebut harus mempunyai makna yang mewakili identitas koleksi tersebut, layaknya nomor buku pokok (BP) mahasiswa, nomor KTP, atau nomor identitas lainnya. Selain itu penyusunannya juga harus disesuaikan dengan kebiasaan institusi induk dalam menyusun nomor identitas. Contoh kasus di Universitas Andalas, penyusunan nomor BP mahasiswa terdiri atas tahun masuk, jenjang studi, fakultas, program studi, jalur masuk dan nomor urut. Oleh karena itu dalam menyusun nomor identitas koleksi perpustakaan, sebaiknya juga mengacu kepada struktur penomoran buku pokok tersebut. Agar terjadi keseragaman dalam pola pemberian nomor identitas.

Ketika nomor barcode disusun sedemikian rupa, maka proses input akan menjadi lebih cepat dan tepat. Disamping itu tingkat keakuratan data akan menjadi lebih tinggi. Dan yang tidak kalah penting adalah kemudahan dalam pengelompokkan/klasifikasi data. Sehingga sangat membantu pihak manajemen dalam proses pengambilan keputusan.

Perpustakaan Universitas Andalas saat ini menggunakan barcode yang terdiri dari 11 digit karakter. Sampai saat ini belum ada kebijakan tertulis terkait dengan format penomoran identitas koleksi (barcode). Setiap jenis koleksi belum mempunyai keseragaman dalam pemberian nomor identitas. Bahkan dalam satu jenis koleksi, seperti buku, format penomorannya-pun masih ada yang berbeda. Ketidakseragaman standar penomoran ini tidak saja terjadi di Perpustakaan Unand saja, di beberapa perpustakaan perguruan tinggi lainnya juga mengalami permasalahan yang sama.

Oleh karena itu perlu disusun sebuah pedoman baku dalam pemberian identitas koleksi perpustakaan. Khusus untuk koleksi perpustakaan perguruan tinggi dengan contoh kasus di UPT Perpustakaan Unand, telah disusun sebuah konsep nomor barcode, yang bisa mewakili identitas dari koleksi itu sendiri. Identitas koleksi harus mewakili tahun pengadaan, jenis koleksi, instansi/fakultas, sumber perolehan, dan nomor urut. Kolom-kolom tersebut diwakili dengan angka-angka tertentu sesuai dengan kebijakan yang ada di perpustakaan itu sendiri.  Hasilnya seperti terlihat gambar di bawah ini:

 

Nomor barcode pada gambar di atas menjelaskan, bahawasanya koleksi tersebut diterbitkan tahun 2017, jenis koleksinya buku teks, sumber perolehaannya dari pembelian, koleksi milik perpustakaan pusat universitas andalas, serta koleksi buku teks tahun 2017 dengan nomor urut 1201. Kalau diterjemahkan secara bebas merupakan koleksi buku teks perpustakaan pusat Unand yang diterbitkan tahun 2017, diperoleh melalui pembelian dengan nomor urut 1201.

Lantas bagaimana dengan nomor identitas yang sudah ada saat ini? Dalam konsep pengembangan sistem informasi, implementasi sistem yang baru tidak serta merta bisa langsung menggantikan keberadaan sistem yang lama. Keduanya harus melalui proses adaptasi terlebih dahulu. Begitu juga dengan penerapan sistem penomoran barcode koleksi perpustakaan.

Konsep penomoran lama yang sudah diterapkan tidak perlu diganti dengan sistem yang baru. Karena kalau dilakukan penyesuaian akan membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama untuk merubah nomor identitas koleksi perpustakaan yang jumlahnya sudah mencapai 150.000 eksemplar. Implementasi sistem yang baru hanya digunakan untuk koleksi terbaru saja, terhitung saat sistem tersebut resmi digunakan.

 

 

 

Read 23333 times Last modified on Rabu, 13 Desember 2017 09:30