Items filtered by date: Rabu, 29 Desember 2021
29 Desember 2021 In Iswadi Syahrial Nupin

Istilah inklusi sosial dalam kajian ilmu perpustakaan dapat dikatakan masih baru. Istilah ini lazim digunakan sekitar awal tahun 2019. Pedoman mengimplementasikan konsep inklusi sosial dirumuskan di Inggris yang penerapannya terbatas pada Perpustakan Umum. Dari perspektif sejarah, konsep inklusi sosial mulai dikenal publik  pada tahun 1970-an di Prancis sebagai respon terhadap krisis kesejahteraan di negara-negara Eropa, yang memiliki dampak yang meningkat pada kerugian sosial di Eropa. Konsep ini menyebar ke seluruh Eropa dan Inggris sepanjang tahun 1980-an dan 90-an. Konsep ini mendapatkan perhatian yang luas setelah dibahas pada Konferensi Tingkat Tinggi World Summit for Social Development, Copenhagen, Denmark, 6-12 March 1995 atau dikenal dengan Copenhagen Declaration on Social Development. Deklarasi pembangunan sosial ini menekankan pada konsensus program aksi baru tentang perlunya menempatkan masyarakat di pusat pembangunan.

Inklusi sosial didefinisikan sebagai …cara partisipatif, otentik, dan akuntabel di mana lembaga menjunjung tinggi dan memperkuat prinsip-prinsip akses, kesetaraan dan, sebagai hasilnya, inklusi sosial bagi semua golongan (Canadian Urban Council Libraries, 2010). Dari batasan ini dapat dikatakan bahwa inklusi sosial di perpustakaan apa pun bentuknya seyogianya melibatkan partisipasi semua golongan termasuk minoritas. Susanti (2019) menguraikan batasan tersebut dengan menyatakan bahwa ketika sebuah institusi melaksanakan prinsip partisipatori dan menyediakan akses secara berimbang terhadap semua orang, maka hasil akhir dari kegiatan institusi tersebut adalah pelaksanaan inklusi sosial.

Agar Perpustakaan dikatakan telah mengimplementasikan inklusi sosial maka Perpustakaan harus mampu memberikan jaminan atau kesempatan enam kelompok yang mungkin terkena eksklusi sosial di masyarakat yaitu korban diskriminasi, intoleransi dan kekerasan berbasis agama; korban pelanggaran HAM berat; waria; masyarakat adat dan lokal terpencil yang tergantung pada sumber daya alam; disabilitas; dan anak dan remaja rentan (Azyumardi Azra, 2016).

Perpustakaan Perguruan Tinggi didefinisikan sebagai sebuah entitas yang menjadi bagian integral sebuah institusi Perguruan Tinggi, yang bertugas untuk menjadi pusat sumber belajar dengan menyediakan koleksi yang terorganisir dengan baik, staf yang terlatih untuk menyediakan informasi yang tepat, serta memiliki fasilitas fisik yang diperlukan untuk mendukung aktifitas Tridharma Perguruan Tinggi. Kekhasan koleksi Perpustakaan Perguruan Tinggi adalah subjek koleksinya yang sangat ilmiah, karena tujuan pengadaannya adalah untuk mendukung kegiatan belajar mengajar serta penelitian bagi civitas akademica. Dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, koleksi ilmiah ini mengalami perubahan bentuk, dari koleksi tercetak menjadi digital. Efek sampingnya adalah adanya ‘kewajiban’ bagi perpustakaan untuk menyediakan peralatan pendukung yang memadai untuk pembacaan berbagai koleksi digital ini.

Konsep Perpustakaan berbasis inklusi sosial sebagian besar telah dijalankan di Perpustakaan Unand. Bagi penyandang disabilitas atau tuna daksa tersedia mebelair khusus untuk dapat mengakses koleksi perpustakaan. Kedepan bagi tuna netra perlu pula disediakan yakni signage dengan huruf braille yang dapat dibaca sehingga membantu tuna netra untuk memahami fasilitas yang tersedia di Perpustakaan Unand. Bagi mahasiswa non Minang seperti dari Indonesia Timur seperti Tanah Papua tetap dilayani dengan baik tanpa diskriminasi. Gedung Perpustakaan Unand pernah digunakan sebagai tempat acara kegiatan Pameran dan Pelatihan Preservasi Khazanah Manuskrip Minangkabau yang diinisiasi oleh Bidang Kebudayaan Kemendikbudristek dan dilaksanakan oleh Prodi Bahasa dan Sastra Minangkabau, Minangkabau Corner dengan mengundang Komunitas Suluah Padang yaitu Lembaga Swadaya Masyarakat yang konsern dengan Adat dan Budaya Minangkabau serta Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumbar. Tidak ditemukan pula pemustaka waria, korban kekerasan intoleransi dan korban pelanggaran HAM di Perpustakaan Unand. Dengan demikian secara fakta dan realita Perpustakaan Unand telah melaksanakan inklusi sosial yang baik. Perpustakaan Unand juga pernah memberikan hibah buku pada Masjid Al-Jadid yang berada disekitar Kampus Unand dalam momentum Acara Safari Ramadhan.

Transformasi Perpustakaan Unand menjadi perpustakaan yang berbasis inklusi sosial harus paralel dengan implementasi Tridharma Perguruan Tinggi terutama pada poin pengabdian pada masyarakat yakni dengan mengembangkan layanan serta advokasi literasi dan minat baca seluas-luasnya, terutama bagi masyarakat yang ada di sekitar lokasi perguruan tinggi. Bentuknya bisa berupa pelatihan-pelatihan atau workshop terkait literasi, baik dengan memberikan penghargaan bunda literasi maupun pemuda literasi.

Oleh karena itu, Perpustakaan Unand tidak boleh lagi menjadi menara gading sehingga tidak peduli dengan perkembangan literasi yang terjadi pada masyarakat disekitar lingkungan Perpustakaan Unand. Pustakawan harus turun ke bawah berjuang bersama pegiat literasi untuk memerangi hoaks agar masyarakat paham mana yang fakta dan realita serta mana pula yang disebut informasi palsu. Pustakawan perlu menjelaskan konten yang tidak baik diakses seperti pornografi dan radikalisme termasuk konten yang sifatnya gambling (perjudian) yang bertebaran di dunia maya. Kegiatan Pustakawan yang berkaitan dengan pengenalan literasi bagi masyarakat sekitar dapat dijadikan angka kredit bagi Pustakawan untuk naik jabatan karena Pustakawan dalam kegiatan tersebut menjadi narasumber dan penyaji serta moderator. Keuntungan penerapan inklusi sosial oleh Perpustakaan Unand memiliki keuntungan bagi Universitas Andalas karena masyarakat melihat kegiatan yang dilakukan Pustakawan sebagai bentuk University Social Responsibility (USR) dalam pengabdian masyarakat khususnya memberikan sharing pengetahuan tentang cara mengakses informasi yang sehat.

Implementasi inklusi sosial di Perpustakaan Unand perlu dibuatkan rancang bangun dan konsepnya dengan jelas. Konsep inklusi social tersebut dijabarkan secara tertulis pada Buku Pedoman Layanan Perpustakaan Unand. Hal ini diperlukan agar tidak terjadi beda persepsi antara Pustakawan dengan decision maker. Perpustakaan Unand perlu berkoordinasi dengan Lembaga Pengembangan Pendidikan dan Penjaminan Mutu (LP3M) dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) untuk meminta advise. Rancang bangun dan konsep inklusi sosial yang diterapkan wajib dirumuskan melalui Rapat Koordinasi yang juga melibatkan Wakil Rektor I Universitas Andalas. Success non solum fit pernoctare, sukses tidak begitu saja terjadi dalam semalam !. Kerjasama semua pihak menjadi keharusan.